Selasa, 15 Juli 2008
Slamet Sukirnanto
N G R A Y U N
Karya : Slamet Sukirnanto
Beri Aku
Air di kali
Beri Aku
Air di sawah-sawah
Beri Aku
Kenangan di lembah-lembah
Beri Aku
Kehidupan yang ramah
Seputih cairan getah
Yang terus mengalir
Goresan batang-batang pinus
Bayangannya rebah
Ketika angin
Belum juga berembus
Hati siapa
Mampu mengeja
Terangnya cahaya
Matahari rendah di sana
Kemarau dirimu
Panjang tak mmpu dibelah
Bukit kapur
Tanah tandus
Mimpimu subur
Jangan ! Jangan !
Ada yan g hancur !
Ibu tua
Mendaki bukit
Untuk siapa
Beban berat dibakul
Katakan ! Katakan !
Subuh dan senja
Beredar teratur
Beri Aku
Anda ingin mengenal beliau ? Berkunjunglah ke sini.
Sapardi Djoko Darmono
SELAMAT PAGI, INDONESIA
Karya : Sapardi Djoko Darmono
Selamat pagi, indonesia, seekor burung mungil mengangguk
Dan menyanyi kecil untukmu
Aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
Dan kemudian pergi untuk mewujudkan setia padamu
Dalam kerja yang sederhana
Bibirku tak bisa mengucapkan kata-kata yang sukur
Dan tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
Selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,
Di mata para perempuan yang sabar,
Di telapak tangan yang membantu para pekerja jalanan,
Kami telah bersahabat dengan kenyataan
Untuk diam-diam mencintaimu.
Pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu
Agar tak sia-sia melahirkanku.
Seekor ayam jantan menegak,dan menjeritkan salam
Padamu kubayngkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
Aku pun pergi bekerja, menaklukkan kejemuan,
Merubuhkan kesangsian,
dan menyusun batu demi batu ketabahan, benteng kemerdekaanmu
pada setiap matahari terbit, o anak jaman yang megah,
biarkan aku memandang ke timur untuk mengengmu.
Wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
Para perempuan menyalakan api,
Dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
Telah hancur kristal-kristal dusta, khiamat dan pura-pura.
Selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil
Memberi salam kepada si anak kecil;
Terasa benar : aku tak lain memilikimu.
TENTANG MATAHARI
Karya : Sapardi Djoko Darmono
Matahari yang di atas kepalamu itu
adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu
waktu kau kecil, adalah bola lampu
yang di atas meja ketika kau menjawab surat-surat
yang teratur kau terima dari sebuah Alamat,
adalah jam weker yang berdering
sedang kau bersetubuh, adalah gambar bulan
yang dituding anak kecil itu sambil berkata:
"Ini matahari! Ini matahari!"
Matahari itu? Ia memang di atas sana
supaya selamanya kau menghela
bayang-bayanganmu itu.
BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI
Karya : Sapardi Djoko Darmono
waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan
KAMI BERTIGA
Karya : Sapardi Djoko Darmono
dalam kamar ini kami bertiga:
aku, pisau dan kata --
kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya
tak peduli darahku atau darah kata
AKU INGIN
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
MATA PISAU
Karya : Sapardi Djoko Darmono
mata pisau itu tak berkejap menatapmu
kau yang baru saja mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu
Puisi Sanusi Pane
CANDI
Karya : Sanusi Pane
Engkau menahan empasan kala,
Tinggal berdiri indah permai,
Tidak mengabaikan serangan segala,
Megah kuat tak terperai.
Engkau berita waktu yang lalu,
Masa Hindia masyur maju,
Dilayan putra bangsawan kalbu,
Dijunjung tinggi penaka ratu.
Aku memandang suka dan duka
Berganti-ganti di dalam hati,
Terkenang dulu dan waktu nanti.
Apa gerangan masa di muka
Jadi bangsa yang kucinta ini ?
Adakah tanda megah kembali ?
DIBAWA GELOMBANG
Karya : Sanusi Pane
Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah kemana aku tak tahu
Jauh di atas bintang kemilau
Seperti sudah berabad-abad
Dengan damai mereka meninjau
Kehidupan bumi yang kecil amat
Aku bernyanyi dengan suara
Seperti bisikan angin di daun
Suaraku hilang dalam udara
Dalam laut yang beralun-alun
Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah kemana aku tak tahu
MENCARI
Karya : Sanusi Pane
Aku mencari
Di kebun Hindia.
Aku pesiar
Di kebun Yunani.
Aku berjalan
Di tanah Roma.
Aku mengembara
Di benua Barat.
Aegala buku
Perpustakaan dunia
Sudah kubaca,
Segala filsafat
Sudah kuperiksa.
Akhirnya kusampai
Ke dalam taman
Hati sendiri.
Di sna bahagia
Sudah lama
Menanti daku.
Puisi Rustam Effendi
KOLAM
Karya : Rustam Effendi
Di tengah
kolam yang indah
tenang,
berenang
seekor gangsa
Sayapnya putih
bulunya jernih,
jernih
biji matanya
Bak pulai
leher semampai
junjang
memandang
bercermin air
Renangnya hening
airnya bening
hening
tiada berdesir.
Karya : Rustam Effendi
Di tengah
kolam yang indah
tenang,
berenang
seekor gangsa
Sayapnya putih
bulunya jernih,
jernih
biji matanya
Bak pulai
leher semampai
junjang
memandang
bercermin air
Renangnya hening
airnya bening
hening
tiada berdesir.
Puisi Piek Ardijanto Soeprijadi
LAGU TANAH AIRKU
Karya : Piek Ardijanto Soeprijadi
Sudahkah kau dengar lagu berjuta nada
Lagu tanah airku yang menggema di seluruh dunia
Dengarkanlah merdu suaranya
Dengarkanlah indah suaranya
Masinis melagu bersama gemuruh mesin
tukang kayu berdendang ditingkah gergaji makan papan
tukang batu bernyanyi bersama semen memeluk bata
nakoda senandung menyanjung ombak menelan haluan
tukang sepatu berlagu mengiring palu menghantam paku
penebang pohon berdendang bersama gema kapak dalam hutan
petani nembang di atas bajak berjemur di lumpur
betapa merdu lagu tanah airku
meletus nyanyi di pagi hari
menegang di rembang siang
melenyap di senja senyap
bila malam mengembang ibu nembang
tidurlah berlepas lelah anakku sayang
lampu bumi bawa mimpi damai dunia
esok masih ada kerja untuk nusa dan bangsa
Karya : Piek Ardijanto Soeprijadi
Sudahkah kau dengar lagu berjuta nada
Lagu tanah airku yang menggema di seluruh dunia
Dengarkanlah merdu suaranya
Dengarkanlah indah suaranya
Masinis melagu bersama gemuruh mesin
tukang kayu berdendang ditingkah gergaji makan papan
tukang batu bernyanyi bersama semen memeluk bata
nakoda senandung menyanjung ombak menelan haluan
tukang sepatu berlagu mengiring palu menghantam paku
penebang pohon berdendang bersama gema kapak dalam hutan
petani nembang di atas bajak berjemur di lumpur
betapa merdu lagu tanah airku
meletus nyanyi di pagi hari
menegang di rembang siang
melenyap di senja senyap
bila malam mengembang ibu nembang
tidurlah berlepas lelah anakku sayang
lampu bumi bawa mimpi damai dunia
esok masih ada kerja untuk nusa dan bangsa
Puisi Mohammad Diponegoro
GEMPA
Karya : Mohammad Diponegoro
Pabila bumi tergoncang gempa
Dan memuntah ruah segenap muatannya
Lalu berseru manusia : “ Kemana dia ?”
Hari itu bumi sendiri akan berkisah
Karena Tuhanmu memberinya wahyu
Lalu muncul manusia terpisah-pisah
Menyaksikan sendiri kerja tangannya
Setiap zarah kebajikan akan berlipat jua
Setiap zarah dosa akan menempak pula
GAJAH
Karya : Mohammad Diponegoro
Tidakkah kaulihat betapa Allah
telah menumpas pasukan gajah ?
Diakhirinya pertempuran dengan porak poranda
dan dikirimnya burung Ababil berbondong-bondong
menghujani mereka batu-batu bertuah
Dan lumpuhkan mereka bagai daunan dirusak hama
WAKTU SEPENGGALAH MATAHARI
Karya : Mohammad Diponegoro
Demi waktu sepenggalah matahari
dan malam ketika senyap sunyi
tuhanmu tiada meninggalkan kau, ataupun benci
dan sebenarnya apa yang akan terjadi
lebih baik bagimu daripada yang sudah
nanti Tuhanmu pasti memberi anugerah
maka engkau pun akan berpuas hati
Bukankah dahulu ia mendapatmu tak berbapa
lalu memberi perlindungan ?
Dan mendapatimu sedang meranba-raba
lalu menunjukkan jalan ?
dan mendapatimu sedang papa ?
lalu memberi kekayaan ?
Maka terhadap anak tak berbapa
jangan berlaku tak semena-mena
dan pada orang yang meminta-minta
jangan mencaci-cerca
sedang anugerah Tuhanmu, beritakanlah !
PERTOLONGAN
Karya : Mohammad Diponegoro
Pabila datang pertolongan Allah
dan kemenangan (karena terbuka kota Makkah)
dan kaulihat manusia masuk agama Allah berduyun-duyun
maka agungkan Tuhanmu dengan pujian dan mohon ampun
Ia hakikat penerima taubat
Karya : Mohammad Diponegoro
Pabila bumi tergoncang gempa
Dan memuntah ruah segenap muatannya
Lalu berseru manusia : “ Kemana dia ?”
Hari itu bumi sendiri akan berkisah
Karena Tuhanmu memberinya wahyu
Lalu muncul manusia terpisah-pisah
Menyaksikan sendiri kerja tangannya
Setiap zarah kebajikan akan berlipat jua
Setiap zarah dosa akan menempak pula
GAJAH
Karya : Mohammad Diponegoro
Tidakkah kaulihat betapa Allah
telah menumpas pasukan gajah ?
Diakhirinya pertempuran dengan porak poranda
dan dikirimnya burung Ababil berbondong-bondong
menghujani mereka batu-batu bertuah
Dan lumpuhkan mereka bagai daunan dirusak hama
WAKTU SEPENGGALAH MATAHARI
Karya : Mohammad Diponegoro
Demi waktu sepenggalah matahari
dan malam ketika senyap sunyi
tuhanmu tiada meninggalkan kau, ataupun benci
dan sebenarnya apa yang akan terjadi
lebih baik bagimu daripada yang sudah
nanti Tuhanmu pasti memberi anugerah
maka engkau pun akan berpuas hati
Bukankah dahulu ia mendapatmu tak berbapa
lalu memberi perlindungan ?
Dan mendapatimu sedang meranba-raba
lalu menunjukkan jalan ?
dan mendapatimu sedang papa ?
lalu memberi kekayaan ?
Maka terhadap anak tak berbapa
jangan berlaku tak semena-mena
dan pada orang yang meminta-minta
jangan mencaci-cerca
sedang anugerah Tuhanmu, beritakanlah !
PERTOLONGAN
Karya : Mohammad Diponegoro
Pabila datang pertolongan Allah
dan kemenangan (karena terbuka kota Makkah)
dan kaulihat manusia masuk agama Allah berduyun-duyun
maka agungkan Tuhanmu dengan pujian dan mohon ampun
Ia hakikat penerima taubat
Puisi Kutowijoyo
MUSIUM PERJUANGAN
Karya : Kutowijoyo
Susunan batu yang bulat bentuknya
Berdiri kukuh menjaga senapan tua
Peluru menggeletak di atas meja
Menanti putusan pengunjungnya
Aku tahu sudah, di dalamnya
Tersimpan darah dan air mata kekasih
Aku tahu sudah, di bawahnya
Terkubur kenangan dan impian
Aku tahu sudah, suatu kali
Ibu-ibu direnggut cintanya
Dan tak pernah kembali
Bukalah tutupnya
Senapan akan kembali berbunyi
Meneriakkan semboyan
Merdeka atau mati
Ingatlah, sesudah sebuah perang
Selalu pertempuran yang baru
Melawan dirimu.
Karya : Kutowijoyo
Susunan batu yang bulat bentuknya
Berdiri kukuh menjaga senapan tua
Peluru menggeletak di atas meja
Menanti putusan pengunjungnya
Aku tahu sudah, di dalamnya
Tersimpan darah dan air mata kekasih
Aku tahu sudah, di bawahnya
Terkubur kenangan dan impian
Aku tahu sudah, suatu kali
Ibu-ibu direnggut cintanya
Dan tak pernah kembali
Bukalah tutupnya
Senapan akan kembali berbunyi
Meneriakkan semboyan
Merdeka atau mati
Ingatlah, sesudah sebuah perang
Selalu pertempuran yang baru
Melawan dirimu.
Puisi Kirdjomulyo
ALBERT MONGINSIDI
Karya : Kirdjomuljo
Darahmu tak kutahu saat menetes, tak kutahu
Tetapi jariku kurasa membasah
Hilang seorang yang berhak dikenang
Wajahmu tak kutahu saat istirah
Tetapi kurasa menatapku
Datang seorang yang berhak mendapatkan setia
Albert betapa kau masih remaja
Tetapi dari segala yang tidak kutahu
Satu hal mengikat adamu dan adaku
Kau melawan dan mencintai yang berhak digenggam
Kuburmu tak pernah kutahu
Tetapi kusedia tempat bagimu dalam hatiku
Dan seuntai karangan bunga yang kekal
Kau telah memilih jalan terbaik
Dari segenap kematian yang bertanda
Dari segenap kehidupan yang berhak dicintai
Karya : Kirdjomuljo
Darahmu tak kutahu saat menetes, tak kutahu
Tetapi jariku kurasa membasah
Hilang seorang yang berhak dikenang
Wajahmu tak kutahu saat istirah
Tetapi kurasa menatapku
Datang seorang yang berhak mendapatkan setia
Albert betapa kau masih remaja
Tetapi dari segala yang tidak kutahu
Satu hal mengikat adamu dan adaku
Kau melawan dan mencintai yang berhak digenggam
Kuburmu tak pernah kutahu
Tetapi kusedia tempat bagimu dalam hatiku
Dan seuntai karangan bunga yang kekal
Kau telah memilih jalan terbaik
Dari segenap kematian yang bertanda
Dari segenap kehidupan yang berhak dicintai
Puisi I Gusti Putu Antara
MAKAM-MAKAM
Karya : I Gusti Putu Antara
makam-makam tertanam penuh makna
syuhada telah mengisimu dalam ribaan pertiwi
penuh suci dengan mendambakan pahala kemerdekaan sempurna
bakti diri
menyirat makna yang perlu kajian rasa
makam-makam tertanam tanpa nama
makam terhampar punya nama
yang tanpa kau sadari semua pahala akan berlari
ke ribaanmu demi perjuangan membela negeri
tapi akan mampukah aku
bila generasiku tanpa rasa ?
engkau tiada sadar diri terkapar penuh memar
badan terbungkus darah merah dengan senjata berujung runcing
merah putih terikat mengunjung
dan itulah engkau : pahlawanku !
kini aku datang melayang merenungi tanpa ragu
menaking rasa asih dalam benak sanubariku
aku datang meneropong tekad jiwaa mudamu dulu
kusuluhkan pada diriku
kudambakan demi nusaku
tapi mungkinkah
aku mampu memacu dirilu meneruskan rekad sucimu
penuh bakti ?
kini aku bangga, biar !
kini aku muda, memang sungguh !
kudatang membawa logika pada makam-makam tertanam
dan kini aku berseru tenpa ragu
“kemerdekaan ini harus abadi !”
Karya : I Gusti Putu Antara
makam-makam tertanam penuh makna
syuhada telah mengisimu dalam ribaan pertiwi
penuh suci dengan mendambakan pahala kemerdekaan sempurna
bakti diri
menyirat makna yang perlu kajian rasa
makam-makam tertanam tanpa nama
makam terhampar punya nama
yang tanpa kau sadari semua pahala akan berlari
ke ribaanmu demi perjuangan membela negeri
tapi akan mampukah aku
bila generasiku tanpa rasa ?
engkau tiada sadar diri terkapar penuh memar
badan terbungkus darah merah dengan senjata berujung runcing
merah putih terikat mengunjung
dan itulah engkau : pahlawanku !
kini aku datang melayang merenungi tanpa ragu
menaking rasa asih dalam benak sanubariku
aku datang meneropong tekad jiwaa mudamu dulu
kusuluhkan pada diriku
kudambakan demi nusaku
tapi mungkinkah
aku mampu memacu dirilu meneruskan rekad sucimu
penuh bakti ?
kini aku bangga, biar !
kini aku muda, memang sungguh !
kudatang membawa logika pada makam-makam tertanam
dan kini aku berseru tenpa ragu
“kemerdekaan ini harus abadi !”
Puisi Hartoyo Andangjaya
DARI SEORANG GURU KEPADA MURID-MURIDNYA
Karya : Hartoyo Andangjaya
Adakah yang kupunya, anak-anakku
selain buku-buku dan sedikit ilmu
sumber pengabdianku kepadamu.
Kalau hari Minggu kau datang ke rumahku
aku takut, anak-anakku
kursi-kursi tua yang di sana
dan meja tulis sederhana
dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya
semua padamu akan bercerita
tentang hidupku di rumah tangga
Ah, tentang ini tak pernah aku bercerita
depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja
horison yang selalu biru bagiku
karena kutahu, anak-anakku
engkau terlalu muda
engkau terlalu bersih dari dosa
untuk mengenal ini semua
PEREMPUAN-PEREMPUAN PERKASA
Karya : Hartoyo Andangjaya
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, dari manakah mereka
ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
sebelum peluit kereta pagi terjaga
sebelum hari bermula dalam pesta kerja
Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta, kemanakah mereka
di atas roda-roda baja mereka berkendara
mereka berlomba dengan surya menuju gerbang kota
merebut hidup di pasar-pasar kota
Perempuan-perempuan perkasa yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
mereka : cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
RAKYAT
Karya : Hartoyo Andangjaya
hadiah di hari krida
buat siswa-siswa SMA Negeri
Simpang Empat, Pasaman
Rakyat ialah kita
jutaaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja
Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang siur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka
Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka
Rakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
di darat
hari yang beringat
gunung batu berwarna coklat
di laut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wajah semesta
Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa
Karya : Hartoyo Andangjaya
Adakah yang kupunya, anak-anakku
selain buku-buku dan sedikit ilmu
sumber pengabdianku kepadamu.
Kalau hari Minggu kau datang ke rumahku
aku takut, anak-anakku
kursi-kursi tua yang di sana
dan meja tulis sederhana
dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya
semua padamu akan bercerita
tentang hidupku di rumah tangga
Ah, tentang ini tak pernah aku bercerita
depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja
horison yang selalu biru bagiku
karena kutahu, anak-anakku
engkau terlalu muda
engkau terlalu bersih dari dosa
untuk mengenal ini semua
PEREMPUAN-PEREMPUAN PERKASA
Karya : Hartoyo Andangjaya
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, dari manakah mereka
ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
sebelum peluit kereta pagi terjaga
sebelum hari bermula dalam pesta kerja
Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta, kemanakah mereka
di atas roda-roda baja mereka berkendara
mereka berlomba dengan surya menuju gerbang kota
merebut hidup di pasar-pasar kota
Perempuan-perempuan perkasa yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
mereka : cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
RAKYAT
Karya : Hartoyo Andangjaya
hadiah di hari krida
buat siswa-siswa SMA Negeri
Simpang Empat, Pasaman
Rakyat ialah kita
jutaaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja
Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang siur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka
Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka
Rakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
di darat
hari yang beringat
gunung batu berwarna coklat
di laut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wajah semesta
Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa
Puisi D. Zawawi Imron
MABUK BULAN NOPEMBER
Karya : D. Zawawi Imron
Kaulah harimauku, Surabaya !
Meski aku hanya seekor kepodang yang hinggap di beluntas
pagarmu, taring runcingmu menyaringkan riak darah,
hingga kuingin jadi banteng nenek moyang huruf-huruf
yang luntur di dahimu, padahal itu pesan seorang empu.
Ada bambu runcing kini jadi pemain sandiwara terkamu
jadi santai padahal dalam hatiku bergemuruh detak jantungmu,
karena ada yang nikmat kuingat : tubuh-tubuh sunyi
yang puisi adalah mummi
Surabaya, bangkitlah kembali sebagai harimau. Merdeka !
Rohku memamah puing-puingmu, menyusun tangis dan gerammu,
hingga aku bukan sekedar tugu tempat bunga-bunga layu dan
t e r m a n g u
Saksikanlah, inilah caraku ! Dalam lengahmu kupasang awasku.
Karya : D. Zawawi Imron
Kaulah harimauku, Surabaya !
Meski aku hanya seekor kepodang yang hinggap di beluntas
pagarmu, taring runcingmu menyaringkan riak darah,
hingga kuingin jadi banteng nenek moyang huruf-huruf
yang luntur di dahimu, padahal itu pesan seorang empu.
Ada bambu runcing kini jadi pemain sandiwara terkamu
jadi santai padahal dalam hatiku bergemuruh detak jantungmu,
karena ada yang nikmat kuingat : tubuh-tubuh sunyi
yang puisi adalah mummi
Surabaya, bangkitlah kembali sebagai harimau. Merdeka !
Rohku memamah puing-puingmu, menyusun tangis dan gerammu,
hingga aku bukan sekedar tugu tempat bunga-bunga layu dan
t e r m a n g u
Saksikanlah, inilah caraku ! Dalam lengahmu kupasang awasku.
Puisi Chairil Anwar
CERITA BUAT DIEN TAMAELA
Karya : Chairil Anwar
Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu
Beta Pattirajawane
Kikisan laut
Berdarah laut
Beta Pattirajawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan
Beta Pattirajawane, penjaga hutan pala
Beta api di pantai, siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama
Dalan sunyi malam gangga menari
Menurut beta punya tifa
Pohon pala, badan perawan jaddi
Hidup sampai pagi tiba
Maari menari !
Mari beria !
Mari berlupa !
Awas ! Jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu !
Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau …
Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.
SUARA MALAM
Karya : Chairil Anwar
Dunia badai dan topan
Manusia mengingatkan “Kebakaran di hutan”
Jadi ke mana
Untuk damai dan reda ?
Mati
Barangkali ini diam kaku saja
Dengan ketenangan selama bersatu
Mengatasi suka dan duka
Kekebalan terhadap debu dan nafsu
Berbaring tak sedar
Seperti kapal pecah di dasar lautan
Jemu dipukul ombak besar
Atau ini
Pelebaran dalam tiada
Dan sekali akan menghadap cahaya
Ya Allah ! Badanku terbakar segala samar
Aku sudah melewati batas
Kembali ? intu tertutup dengan keras.
TAK SEPADAN
Karya : Chairil Anwar
Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros.
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka.
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak 'kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka.
Februari 1943
SENDIRI
Karya : Chairil Anwar
Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya
Ia membenci. Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya
Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakukan-menanti ia menyebut satu nama
Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!
Februari 1943
AKU
Karya : Chairil Anwar
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
PENERIMAAN
Karya : Chairil Anwar
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
Maret 1943
HAMPA
Karya : Chairil Anwar
kepada sri
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.
DOA
Karya : Chairil Anwar
kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
13 November 1943
SAJAK PUTIH
Karya : Chairil Anwar
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...
SENJA DI PELABUHAN KECIL
Karya : Chairil Anwar
buat: Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
1946
MALAM DI PEGUNUNGAN
Karya : Chairil Anwar
Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
1947
YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
Karya : Chairil Anwar
kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
1949
DERAI DERAI CEMARA
Karya : Chairil Anwar
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
CINTAKU JAUH DI PULAU
Karya : Chairil Anwar
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.
1946
NISAN
Karya : Chairil Anwar
Untuk nenekanda
Bukan kematian benar membusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak tahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta
DIPONEGORO
Karya : Chairil Anwar
Dimasa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
Maju
Ini barisan tak bergenderang berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
Maju
Bagimu negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serang
Terjang
MIRAT MUDA
Karya : Chairil Anwar
Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah
Menatap lama ke dalam pandangannya
coba memisah matanya menantang
yang satu tajam dan jujur yang sebelah
Ketika diadukannya giginya pada
mulut Chairil; dan bertanya : Adakah, adakah
kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
dan tahulah dia kini, bisa katakan
dan tunjukkan dengan pasti di mana
menghidup jiwa, menghembuskan nyawa
Liang jiwa-nyawa saling berganti. Dia
rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sehati;
hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras,
menuntut tingi tiada setapak berjarak
dengan mati.
MALAM
Karya : Chairil Anwar
Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
- Thermopylae? -
- jagal tidak dikenal? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang
KERAWANG BEKASI
Karya : Chairil Anwar
Kami yang terbaring antara Kerawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
DI MESJID
Karya : Chairil Anwar
Kuseru saja Dia
sehingga datang juga
Kamipun bermuka-muka
seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada
Segala daya memadamkannya
Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda
Ini ruang
gelanggang kami berperang
Binasa membinasa
satu menista lain gila
PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
Karya : Chairil Anwar
Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak dan berlabuh
SELAMAT TINGGAL
Karya : Chairil Anwar
Aku berkaca
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
Kudengar seru menderu
-- dalam hatiku? --
Apa hanya angin lalu?
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah...!!
Segala menebal, segela mengental
Segala tak kukenal
Selamat tinggal...!!
KEPADA KAWAN
Karya : Chairil Anwar
Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang 'tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,
belum bertunas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar merah terkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!
Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan,
Peluk kuncup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat,
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, 'kan merasa angkasa sepi.
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!
ISA
Karya : Chairil Anwar
Kepada Nasrani sejati
Itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
mendampar tanya: aku salah?
kulihat Tuhan mengucur darah
aku berkaca dalam darah
terbayang terang di mata masa
bertukar tangkap dengan segera
mengatup luka
aku bersuka
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
RUMAHKU
Karya : Chairil Anwar
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu.
Karya : Chairil Anwar
Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu
Beta Pattirajawane
Kikisan laut
Berdarah laut
Beta Pattirajawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan
Beta Pattirajawane, penjaga hutan pala
Beta api di pantai, siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama
Dalan sunyi malam gangga menari
Menurut beta punya tifa
Pohon pala, badan perawan jaddi
Hidup sampai pagi tiba
Maari menari !
Mari beria !
Mari berlupa !
Awas ! Jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu !
Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau …
Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.
SUARA MALAM
Karya : Chairil Anwar
Dunia badai dan topan
Manusia mengingatkan “Kebakaran di hutan”
Jadi ke mana
Untuk damai dan reda ?
Mati
Barangkali ini diam kaku saja
Dengan ketenangan selama bersatu
Mengatasi suka dan duka
Kekebalan terhadap debu dan nafsu
Berbaring tak sedar
Seperti kapal pecah di dasar lautan
Jemu dipukul ombak besar
Atau ini
Pelebaran dalam tiada
Dan sekali akan menghadap cahaya
Ya Allah ! Badanku terbakar segala samar
Aku sudah melewati batas
Kembali ? intu tertutup dengan keras.
TAK SEPADAN
Karya : Chairil Anwar
Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros.
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka.
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak 'kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka.
Februari 1943
SENDIRI
Karya : Chairil Anwar
Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya
Ia membenci. Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya
Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakukan-menanti ia menyebut satu nama
Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!
Februari 1943
AKU
Karya : Chairil Anwar
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
PENERIMAAN
Karya : Chairil Anwar
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
Maret 1943
HAMPA
Karya : Chairil Anwar
kepada sri
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.
DOA
Karya : Chairil Anwar
kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
13 November 1943
SAJAK PUTIH
Karya : Chairil Anwar
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...
SENJA DI PELABUHAN KECIL
Karya : Chairil Anwar
buat: Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
1946
MALAM DI PEGUNUNGAN
Karya : Chairil Anwar
Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
1947
YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
Karya : Chairil Anwar
kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
1949
DERAI DERAI CEMARA
Karya : Chairil Anwar
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
CINTAKU JAUH DI PULAU
Karya : Chairil Anwar
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.
1946
NISAN
Karya : Chairil Anwar
Untuk nenekanda
Bukan kematian benar membusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak tahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta
DIPONEGORO
Karya : Chairil Anwar
Dimasa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
Maju
Ini barisan tak bergenderang berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
Maju
Bagimu negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serang
Terjang
MIRAT MUDA
Karya : Chairil Anwar
Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah
Menatap lama ke dalam pandangannya
coba memisah matanya menantang
yang satu tajam dan jujur yang sebelah
Ketika diadukannya giginya pada
mulut Chairil; dan bertanya : Adakah, adakah
kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
dan tahulah dia kini, bisa katakan
dan tunjukkan dengan pasti di mana
menghidup jiwa, menghembuskan nyawa
Liang jiwa-nyawa saling berganti. Dia
rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sehati;
hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras,
menuntut tingi tiada setapak berjarak
dengan mati.
MALAM
Karya : Chairil Anwar
Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
- Thermopylae? -
- jagal tidak dikenal? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang
KERAWANG BEKASI
Karya : Chairil Anwar
Kami yang terbaring antara Kerawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
DI MESJID
Karya : Chairil Anwar
Kuseru saja Dia
sehingga datang juga
Kamipun bermuka-muka
seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada
Segala daya memadamkannya
Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda
Ini ruang
gelanggang kami berperang
Binasa membinasa
satu menista lain gila
PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
Karya : Chairil Anwar
Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak dan berlabuh
SELAMAT TINGGAL
Karya : Chairil Anwar
Aku berkaca
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
Kudengar seru menderu
-- dalam hatiku? --
Apa hanya angin lalu?
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah...!!
Segala menebal, segela mengental
Segala tak kukenal
Selamat tinggal...!!
KEPADA KAWAN
Karya : Chairil Anwar
Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang 'tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,
belum bertunas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar merah terkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!
Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan,
Peluk kuncup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat,
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, 'kan merasa angkasa sepi.
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!
ISA
Karya : Chairil Anwar
Kepada Nasrani sejati
Itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
mendampar tanya: aku salah?
kulihat Tuhan mengucur darah
aku berkaca dalam darah
terbayang terang di mata masa
bertukar tangkap dengan segera
mengatup luka
aku bersuka
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
RUMAHKU
Karya : Chairil Anwar
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu.
Puisi Bur Rasuanto
TELAH GUGUR BEBERAPA NAMA
Karya : Bur Rasuanto
Telah gugur beberapa nama
telah gugur
atas nama kita semua
warna yang berhati damai yang bertahun
telah diperhamba
atas nama jiwa-jiwa agung
yang namanya terpahat di hati kita
serta atas nama sejarah dan kemanusiaan
yang dengan paksa telah dibengkokkan
Telah gugur beberapa nama
telah gugur
dan semua yang mengerti
akan makna keadilan dan harga diri
mengenakan lencana belasungkawa
bersama doa di tepi jalan
melepas pawai duka ke pemakaman
atau serta dalam barisan
dan berbagai simpati tak terucapkan
telah gugur beberapa nama
telah gugur
atas kehilangan kita semua, atas suka kita semua
atas simpati yang tak terkirakan ini
apakah lagi yang lebih berharga
dari segala upacara dan pernyataan
selain nanti pada ziarah yang pertama
Karya : Bur Rasuanto
Telah gugur beberapa nama
telah gugur
atas nama kita semua
warna yang berhati damai yang bertahun
telah diperhamba
atas nama jiwa-jiwa agung
yang namanya terpahat di hati kita
serta atas nama sejarah dan kemanusiaan
yang dengan paksa telah dibengkokkan
Telah gugur beberapa nama
telah gugur
dan semua yang mengerti
akan makna keadilan dan harga diri
mengenakan lencana belasungkawa
bersama doa di tepi jalan
melepas pawai duka ke pemakaman
atau serta dalam barisan
dan berbagai simpati tak terucapkan
telah gugur beberapa nama
telah gugur
atas kehilangan kita semua, atas suka kita semua
atas simpati yang tak terkirakan ini
apakah lagi yang lebih berharga
dari segala upacara dan pernyataan
selain nanti pada ziarah yang pertama
Puisi Budiman S. Hartojo
DOA SEBELUM TIDUR
Karya : Budiman S. Hartojo
Maafkan saya, Tuhan
baru kali ini sempat mengingat-Mu
Maafkan saya, Tuhan
mungkin besok aku lupa lagi
Aku akan tidur
mungkin beberapa jam saja
kini terserah pada-Mu
nasibku terlena dipangkuan-Mu
Aku tak biasa
berdoa panjang-panjang
Hanya kuminta
tolong damaikan dunia
selama aku lelap tidur dan terlupa
Aku tahu engkau tak kan tidur
dan tak kunjung lupa
Oleh karena itu
sebelum tidur kuminta pada-Mu
apa saja yang baik
untukku
dan untuik siapa saja
(Ah, barangkali Kau tertawaa
Tapi betapa pun
maafkan daku).
Karya : Budiman S. Hartojo
Maafkan saya, Tuhan
baru kali ini sempat mengingat-Mu
Maafkan saya, Tuhan
mungkin besok aku lupa lagi
Aku akan tidur
mungkin beberapa jam saja
kini terserah pada-Mu
nasibku terlena dipangkuan-Mu
Aku tak biasa
berdoa panjang-panjang
Hanya kuminta
tolong damaikan dunia
selama aku lelap tidur dan terlupa
Aku tahu engkau tak kan tidur
dan tak kunjung lupa
Oleh karena itu
sebelum tidur kuminta pada-Mu
apa saja yang baik
untukku
dan untuik siapa saja
(Ah, barangkali Kau tertawaa
Tapi betapa pun
maafkan daku).
Puisi Asrul Sani
SURAT DARI IBU
Karya : Asrul Sani
Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke hidup bebas !
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau.
Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas !
Selama hari belum petang
dan warna senja belim kemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau.
Jika bayang telah pudar
dan elang laut pulang kesarang
angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
boleh engkau datang padaku !
Kembali pulang, anakku sayang
kembali ke balik malam !
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
“Tentang cinta dan hidupmu pagi hari.”
ELANG LAUT
Karya : Asrul Sani
Ada elang laut terbang
senja hari
antara jingga dan merah
surya hendak turun,
pergi ke sarangnya.
Apakah ia tahu juga,
bahwa panggilan cinta
tiada ditahan kabut
yang menguap pagi hari ?
bunyinya menguak suram
lambat-lambat
mendekat, ke atas runyam
karang putih,
makin nyata.
Sekali ini jemu dan keringat
tiada kan punya daya
tapi topan tiada mau
dan mengembus ke alam luas.
Jatuh elang laut
ke air biru, tenggelam
dan tiada timbul lagi.
Rumahnya di gunung kelabu
akan terus sunyi,
satu-satu akan jatuh membangkai
ke bumi, bayi-bayi kecil tiada
bersuara.
Hanya anjing,
malam hari meraung menyalak bulan
yang melengkung sunyi.
Suaranya melandai
turun ke pantai
Jika segala senyap pula,
berkata pemukat tua :
“Anjing meratapi orang mati !”
Elang laut telah
hilang ke lunas kelam
topan tiada bertanya
hendak ke mana dia.
Dan makhluk kecil
yang membangkai di bawah
pohon eru, tiada pula akan
berkata :
“Ibu kami tiada pulang.”
MANTERA
Karya : Asrul Sani
Raja dari batu hitam,
Di balik rimba kelam
Naga malam,
Mari kemari !
Aku laksamana dari lautan menghentam malam hari
Aku panglima dari segala burung rajawali
Aku tutup segala kota, aku sebar segala api,
Aku jadikan belantara, jadi hutan mati.
Tapi aku jaga supaya janda-janda tidak diperkosa,
Budak-budak tidur di pangkuan bunda
Siapa kenal daku, akan kenal bahagia
Tiada takut pada pitam,
Tiada takut pada kelam
Pitam dan kelam punya aku
Raja dari batu hitam,
Di balik rimba kelam,
Naga malam,
Mari kemari !
Jaga segala gadis berhias diri,
Biar mereka pesta dan menari
Meningkah rebana
Aku akan berbyanyi,
Engkau akan terima cintaku.
Siapa bercinta dengan aku,
Akan bercinta dengan tiada akhir hari.
Raja dari batu hitam, di balik rimba kelam,
Naga malam,
Mari kemari,
Mari kemari,
Mati !
Langganan:
Postingan (Atom)