Rabu, 16 Juli 2008
Toto Sudarto Bachtiar
GADIS PEMINTA-MINTA
Karya : Toto Sudarto Bachtiar
Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa
Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemanjaan riang
Duniamu yang lebih tinggi dari menara Katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku
Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu tak ada yang punya
dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda.
Taufik Ismail
KABUT DALAM HUJAN JANUARI
Karya : Taufik Ismail
Saat angin dan kabut Januari
Berkejaran di atas atap-atap kota
Serasa murid-muridku untukku bernyanyi
‘Hari ini Nestapa Menyapa’
adakah dingin dlam bunyi senja
yang bernapas pelan dalan gugur daunan
sampai padamu warna-warna serupa
dan menyuarakan angin yang gemetaran
di sini aku duduk, jendela kabut berjalin dingin
numga di luar musimnya ungu mengangguk-angguk
kujamah hati kamar ini dan merasa sangat inginberkata, di sini kau mestinya merenda duduk
dan deru di langit yang tak lagi biru
berdenyar-denyar dalam gugusan badai
adakah itu yang kauberi nama rindu
berpijar-pijar namun tak sempat sampai
adalah jalanan yang masuk dalam malam
bertebaran serta basah daun berjuta
napas kanut antara desah pohonan
menyapu lenggang lewaat jendela
TENTANG SERSAN NISCHOLIS
Karya : Taufik Ismail
Seorang sersan
Kakinya hilang
Sepuluh tahun yang lalu
Setiap siang
Terdengar siulnya
Di bengkel arloji
Sekali datang
Teman-temannya
Sudah orang resmi
Dengan senyum ditolaknya
Kartu anggota
Bekas pejuang
Sersan Nurcholis
Kakinya hilang
Di zaman revolusi
Setiap siang terdengar siulnya
Di bengkel arloji
Sutan Takdir Alisjahbana
BERTEMU
Karya : St. Takdir Alisjahbana
Aku berdiri di tepi makam.
Suria pagi menyinari tanah,
Merah muda terpandang di mata,
Jiwaklu mesra tunduk ke bawah.
Dalam hasrat bertemu muka,
Melimpah mengalir kandungan rasa.
Dalam kami berhadap-hadapan
Menembus tanah yang tebal,
Kuangkat muka melihat sekitar:
Kuburan berjajar beratus-ratus:
Tanah memerah, rumput merimbun,
Pualam bernyanyi, kayu berlumut.
Sebagai kilat nyinar di kalbu:
Sebanyak itu curahan duka,
Sesering itu pula menyayat,
Air mata cucur ke bumi.
Wahai adik, berbaju putih
Dalam tanah bukan sendiri !
Dan meniaraplah jiwaku papa
Di kaki Khalik yang esa:
Di depan-Mu dukaku duka dunia,
Sedih kalbuku sedih semesta.
Beta hanya duli di udara
Hanyut mengikut dalam pewana.
Sejuk embun turun ke jiwa
Dan di mata menerang Sinar.
BISIK HIDUP
Karya : St. Takdir Alisjahbana
Ketika beta membuka jendela tersentuhlah pucuk kembang pengantin yang muda gembira memanjat di hadapan kantorku.
Patahlah ia dan gugur ke bumi.
Sesal hatiku memikirkan ganas perbuatan memutuskan hidup yang seriang itu menggelung ke atas …
Hari ini beta membuka jendela pula.
Mataku mencari batang menjalar, tiada berpucuk tiada berkuncup.
Ke manakah perginya ?
Kubelai kucumbu sekar indah bermegah, kukuakkan daun rimbun mengalun.
Tampaklah beta tempat pucuk terpatah:
Menghijau tunas muda tergeletak di sinar syamsu, girang jenaka julai lampai menghojah langit.
Dan mesralah berbisik Hidup dalam kalbuku.
MENUJU KE LAUT
Karya : St. Takdir Alisjahbana
Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang, tiada beriak
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat :
“Ombak ria berkejar-kejaran
di gelanggang biru bertepi langit
Pasir rata berulang dikecup,
tebing curam ditantang diserang,
dalam bergurau bersama angin,
dalam berlomba bersama mega.”
Sejak itu jiwa gelisah,
Selalu berjuang, tiada reda,
Ketenangan lama rasa beku,
gunung pelindung rasa penggalang.
Berontak hati hendak bebas,
menyerah segala apa mengadang.
Gemuruh berderau kami jatuh,
terhempas berderai mutiara bercahaya,
Gegap gempita suara mengerang,
dahsyat bahna suara menang.
Keluh dan gelak silih berganti
pekik dan tempik sambut menyambut
Tetapi betapa sukarnya jalan,
badan terhempas, kepala tertumbuk,
hati hancur, pikiran kusut,
namun kembali tiadalah ingin,
ketenangan lama tiada diratap
…………………………………..
Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang, tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat
Anda ingin melihat riwayat hidup beliau ? Berkunjunglah ke sini.
Langganan:
Postingan (Atom)