Rabu, 16 Juli 2008

Sutan Takdir Alisjahbana



BERTEMU
Karya : St. Takdir Alisjahbana

Aku berdiri di tepi makam.
Suria pagi menyinari tanah,
Merah muda terpandang di mata,
Jiwaklu mesra tunduk ke bawah.
Dalam hasrat bertemu muka,
Melimpah mengalir kandungan rasa.

Dalam kami berhadap-hadapan
Menembus tanah yang tebal,
Kuangkat muka melihat sekitar:
Kuburan berjajar beratus-ratus:
Tanah memerah, rumput merimbun,
Pualam bernyanyi, kayu berlumut.

Sebagai kilat nyinar di kalbu:
Sebanyak itu curahan duka,
Sesering itu pula menyayat,
Air mata cucur ke bumi.
Wahai adik, berbaju putih
Dalam tanah bukan sendiri !

Dan meniaraplah jiwaku papa
Di kaki Khalik yang esa:
Di depan-Mu dukaku duka dunia,
Sedih kalbuku sedih semesta.
Beta hanya duli di udara
Hanyut mengikut dalam pewana.

Sejuk embun turun ke jiwa
Dan di mata menerang Sinar.





BISIK HIDUP
Karya : St. Takdir Alisjahbana

Ketika beta membuka jendela tersentuhlah pucuk kembang pengantin yang muda gembira memanjat di hadapan kantorku.

Patahlah ia dan gugur ke bumi.
Sesal hatiku memikirkan ganas perbuatan memutuskan hidup yang seriang itu menggelung ke atas …

Hari ini beta membuka jendela pula.
Mataku mencari batang menjalar, tiada berpucuk tiada berkuncup.

Ke manakah perginya ?
Kubelai kucumbu sekar indah bermegah, kukuakkan daun rimbun mengalun.

Tampaklah beta tempat pucuk terpatah:
Menghijau tunas muda tergeletak di sinar syamsu, girang jenaka julai lampai menghojah langit.

Dan mesralah berbisik Hidup dalam kalbuku.




MENUJU KE LAUT
Karya : St. Takdir Alisjahbana

Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang, tiada beriak
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat :

“Ombak ria berkejar-kejaran
di gelanggang biru bertepi langit
Pasir rata berulang dikecup,
tebing curam ditantang diserang,
dalam bergurau bersama angin,
dalam berlomba bersama mega.”

Sejak itu jiwa gelisah,
Selalu berjuang, tiada reda,
Ketenangan lama rasa beku,
gunung pelindung rasa penggalang.
Berontak hati hendak bebas,
menyerah segala apa mengadang.

Gemuruh berderau kami jatuh,
terhempas berderai mutiara bercahaya,
Gegap gempita suara mengerang,
dahsyat bahna suara menang.
Keluh dan gelak silih berganti
pekik dan tempik sambut menyambut

Tetapi betapa sukarnya jalan,
badan terhempas, kepala tertumbuk,
hati hancur, pikiran kusut,
namun kembali tiadalah ingin,
ketenangan lama tiada diratap
…………………………………..

Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang, tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat





Anda ingin melihat riwayat hidup beliau ? Berkunjunglah ke sini.

1 komentar:

Sepenuhnya mengatakan...

Suka gaya bahasa STA, sangat sederhana, sangat mudah dimengerti.